oleh

China Diam-diam Tau Natuna Simpan 60% Cadangan Minyak Dunia

China : Indonesia Tidak Ingin Berbagi Dengan Kita !

KabarKepri.com – Beijing – Pemerintah China mengaku jika Natuna Indonesia adalah bagian dari wilayahnya.

Beijing membeberkan ulasan sejarah kenapa Natuna Indonesia bisa mereka klaim jadi milik China tak seperti sekarang.

Dikutip dari 163.com, 16 Maret 2022, media asal China tersebut menjelaskan bahwa pulau Natuna Indonesia memiliki sejarah Tiongkok Kuno.

Bagi ChinaNatuna mereka sebut Zhanghai Qitou.

Kepulauan Natuna memiliki hubungan yang mendalam dengan Tiongkok kuno.

“Sebelum Dinasti Han, orang dahulu menyebut tempat ini Zhanghai, yang disebut Kepulauan Natuna sebagai Zhanghai Qitou dan menyebut Pulau Natuna sebagai Qitou Besar,” jelasnya.

Kemudian pada zaman Dinasti Song, kapal-kapal asing yang melewati Natuna menganggap pulau tersebut milik kerajaan China.

Pada Dinasti Song, karena perkembangan pelayaran, banyak kapal di sini, dan kapal asing yang melewati Natuna dianggap telah masuk ke wilayah China.

Beranjak ke era Dinasti Ming, kerajaan mengutus Zheng He atau akrab dikenal di telinga publik Indonesia Laksamana Cheng Ho melakukan pelayaran ke Nusantara.

Cheng Ho ini dikenal dalam literatur China kuno sebaga ‘Pelayaran Zheng He ke Barat’.

Keakraban antara China dan Kepulauan Natuna dimulai pada Dinasti Ming.

Dispekulasikan bahwa Zhu Di, nenek moyang Dinasti Ming, memulai karirnya di Pertempuran Jingnan dan merupakan seorang perampas kekuasaan.

Untuk menemukan Kaisar Jianwen yang hilang, dia memerintahkan Zheng He untuk melakukan tujuh pelayaran ke Bar membuka yang terbesar era “Pelayaran Zheng He ke Barat” dalam sejarah Tiongkok kuno,” ungkapnya.

Cheng Ho sebelum memasuki wilayah Nusantara, transit dulu di pulau Zhanghai Qitou alias Natuna.

“Karena lokasi lalu lintasnya, Dajiqitou digunakan oleh armada Zheng He sebagai pos pos pertama di laut, yang mengawali sejarah pengelolaan Kepulauan Natuna oleh Tiongkok.

“Bagan Navigasi Zheng He” dari Dinasti Ming menggambarkan lokasi Jijiqitou (Natuna).” tulis 163.com.

Untuk memperkuat legitimisasi, Dinasti Ming mengubah nama Zhanghai Qitou menjadi Wanshengyu, Anbuna.

Dinasti Ming disebut mengelola kepulauan Natuna selama 200 tahun yang merupakan koloni terjauh di Utara.

“Pada 1433 M, Xuanzong Zhu Yawen dari Dinasti Ming (maaf, ada kebakaran di Dinasti Ming), yaitu Zhu Zhanji memutuskan untuk memberikan kata “Wanshengyu, Anbuna”, dan sejak itu memiliki nama resmi.

Orang-orang Dinasti Ming sebenarnya mengelola di sini selama 200 tahun, yang dapat dipahami sebagai koloni pertama Dinasti Ming.”

Sejarah kemudian berubah kembali saat Dinasti Ming hancur diman ada penduduk asli dari Chaozhou, Guangdong sebanyak 300 orang yang pro Dinasti Ming ‘bedol desa’ kabur dari kekuasaan Dinasti Qing ke Natuna.

Di sana sisa-sisa orang Dinasti Ming mendirikan kerajaan sendiri di Natuna.

“Pada akhir Dinasti Ming dan awal Dinasti Qing, Zhang Jiexu, penduduk asli Chaozhou, Guangdong, tidak puas dengan aturan Dinasti Qing di Tiongkok, sehingga ia memimpin 300 pasukan Ming ke selatan untuk menetap, mendirikan kerajaan tanpa aturan khusus. nama, dan menjadi raja sendiri.”

Namun kerajaan yang didirikan Jiexu tak berlangsung lama lantaran invasi bangsa Eropa, Belanda pada abad ke-19 ke Natuna.

Pada awal abad ke-19, pewaris terakhir Zhang Jiexu meninggal, kerajaan hancur, dijajah oleh Belanda, dan kemudian di bawah yurisdiksi Indonesia.

Belanda menjajah Kepulauan Melayu dan Kepulauan Natuna secara bersamaan.

Untuk memutuskan ikatan budaya dengan China, mereka mengubah Anbuna menjadi Natuna, yang merupakan asal dari Kepulauan Natuna,” jelas 163.com.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 serta hasil KMB di Den Haag, NKRI berdiri dan Natuna memang jadi hak negeri ini.

“Sejarah Kepulauan Natuna dapat dikatakan bahwa China seorang diri mengembangkannya menjadi surga, dan juga menjadi tanah merdeka bagi orang China. Pada pertengahan abad ke-20, Indonesia mengusir penjajah Belanda untuk mendirikan negara merdeka,” jelasnya.

Oke, Indonesia mungkin terima penjelasan sejarah dari China tersebut.

Namun jika dibalik seperti ini mungkin China bakal berpikir mengklaim Natuna milik mereka merupakan tindakan salah.

Pada abad ke-7 kerajaan Sriwijaya di Palembang berdiri.

Bahkan literatur soal kerajaan Sriwijaya ada di catatan Dinasti Tang dimana seorang bernama I Tsing menulis dirinya mengunjungi Sriwijaya pada 671 Masehi.

Hingga abad ke-12 Kerajaan Sriwijaya mengendalikan lalu lintas laut Samudera Hindia hingga pelabuhan di Madagaskar mereka kuasai.

Juga wilayah koloni Sriwijaya sangat luas mencakup Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura, Semenanjung Malaka, Thailand, Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Namun pada tahun 1205 kerajaan Sriwijaya runtuh karena serangan Rajendra Chola I dari Koromandel.

Sejak saat itu koloni kerajaan Sriwijaya lepas satu per satu.

Masalahnya apakah saat ini Indonesia lantas mengklaim Thailand, Kamboja, Singapura hingga Vietnam Selatan menjadi wilayahnya karena faktor sejarah koloni kerajaan Sriwijaya tadi?

Tentu tidak bukan karena faktor tersebut tak relevan dan alangkah bodohnya Indonesia bila masih nekat mengklaim wilayah negara lain di atas pada zaman modern ini.

Atau kenapa Belanda saat ini tak mengklaim seluruh wilayah Indonesia merupakan miliknya, toh faktor sejarah juga membuktikan bila Amsterdam pernah memiliki Nusantara selama 300 tahun lebih.

Begitu pula China menggunakan klaim kejayaan dinasti-dinasti usang mereka ke pulau Natuna milik Indonesia jelas tak sah di mata internasional apalagi PBB.

Lewat sebuah artikel terbitan 9 Januari 2020 lalu, media China Sohu.com rupanya sudah sejak lama mengendus kekayaan alam Natuna.

“Kepulauan Natuna tidak hanya kaya akan sumber daya ikan, tetapi juga kaya akan sumber daya mineral; gas alam di Kepulauan Natuna menyumbang setengah dari total cadangan dunia dan 60% minyak dunia.

Indonesia tidak ingin berbagi dan mengembangkan sumber daya ini dengan China, ia ingin memilikinya,” tulis Sohu.com.

Bukan hanya tak sudi Natuna dikuasai ChinaIndonesia bahkan mengambil langkah berani pada tahun 2017 lalu dengan  mengganti nama zona ekonomi eksklusif di bagian utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara, beberapa di antaranya berada dalam sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China, yang dianggap sebagai niat untuk menantang Klaim kedaulatan Tiongkok di Laut Cina Selatan, dikutip dari BBC.

Media China163.com dalam artikelnya terbitan 12 September 2019 merasa heran dengan langkah Indonesia yang mengganti nama Laut China Selatan.

Indonesia baru-baru ini mengganti nama zona ekonomi eksklusif yang terletak di bagian Laut Cina Selatan sebagai ‘Laut Natuna Utara’,” tulis 163.com.

Langkah berani Indonesia itu bahkan dianggap berbanding terbalik dengan negara-negara lain yang mulai tunduk pada China.

“Sikap Indonesia yang berkembang di kawasan itu—termasuk rencana untuk membangun persenjataannya di Kepulauan Natuna yang bertetangga dan mengerahkan kapal perang angkatan laut—datang ketika klaim teritorial luas negara-negara lain terhadap China di Laut China Selatan berubah menjadi lebih tunduk,” tulis 163.com.

“Sumber asing mengatakan bahwa China telah meminta Indonesia untuk membatalkan nama tersebut. Namun, pemerintah Indonesia mengatakan bahwa ini adalah wilayah Indonesia dan Indonesia berhak melakukannya,” tulis 163.com lagi 

“Terkait penamaan Laut Natuna Utara, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa Indonesia berhak mengambil keputusan ini”.

Laut Natuna Utara terletak di dalam wilayah Indonesia, bukan terletak di Laut Cina SelatanIndonesia berhak mengganti nama perairan ini, Laut Natuna Utara menjadi bahasa Indonesia.

Sebagai tanggapan, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menanggapi pada 14 Juli: Saya tidak memiliki situasi spesifik yang Anda sebutkan.

Tapi yang ingin saya tekankan adalah, sejak lama, Laut China Selatan, termasuk nama tempat standar bahasa Inggrisnya Laut China Selatan, telah digunakan sebagai nama entitas geografis internasional, cakupan geografisnya jelas, dan sudah lama digunakan, diakui dan diterima secara luas oleh masyarakat internasional, termasuk PBB.

Perubahan nama yang disebut tidak ada artinya dan tidak kondusif bagi upaya standarisasi nama geografis internasional.

Diharapkan negara-negara terkait akan bertemu dengan China di tengah jalan dan bersama-sama mempertahankan situasi baik yang diperoleh dengan susah payah dalam situasi Laut China Selatan saat ini,” tulis 163.com dalam artikelnya.

Tak cuma soal penamaan LCS, Indonesia juga berani melawan China yang melarangnya melakukan pengeboran minyak dan gas di sekitar Natuna.

Pada tahun 2021 lalu, China mengirimkan surat memprotes pengeboran minyak bumi lepas pantai Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna Utara.

Jakarta sigap menanggapi hal ini, tegaskan pengeboran tetap lanjut karena Natuna Utara milik NKRI.

Muhammad Farhan, seorang anggota parlemen Indonesia di komite keamanan nasional yang mengetahui persis isi surat itu menyampaikan tegas jika Natuna milik Indonesia sampai kiamat.

Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami,” kata Farhan seperti dikutip dari Reuters, Rabu 11 November 2021.

Farhan juga mengungkap bila isi surat ada yang bernada ancaman.

“(Surat itu) sedikit mengancam karena itu adalah upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line) mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut,” kata Farhan. (**)

Sumber : Zonajakarta.com

Editor : Jusri Sabri

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed